Wednesday, August 27th, 2025 - Tim Encyclopedia Celia
Sejak manusia mulai mampu berpikir dan merenung, ada satu pertanyaan besar yang terus menghantui pikiran: “Dari mana asal-usul dunia ini?” Pertanyaan itu tidak hanya muncul di ruang kelas modern atau laboratorium ilmiah, melainkan sudah ada sejak ribuan tahun lalu ketika nenek moyang kita masih hidup dengan keterbatasan pengetahuan.
Karena tidak ada ilmu astronomi, fisika, atau biologi seperti sekarang, jawaban atas pertanyaan tersebut mereka temukan dalam bentuk mitologi. Kisah-kisah penciptaan dunia lahir sebagai bagian dari upaya manusia memahami alam semesta. Ia bukan sekadar dongeng pengantar tidur, tetapi refleksi atas hubungan manusia dengan alam, para dewa, serta makna kehidupan itu sendiri.
Menariknya, meskipun lahir dari latar belakang budaya yang berbeda, kisah-kisah ini memiliki benang merah: semuanya berusaha memberikan makna terhadap kekacauan kosmos, menata yang tak terjelaskan, dan menghadirkan narasi tentang bagaimana manusia menemukan tempatnya di alam raya.
Dalam artikel ini, mari kita melakukan sebuah perjalanan imajiner melintasi waktu dan budaya—dari Yunani kuno, Mesir yang megah, dunia Nordik yang dingin dan kelam, hingga Nusantara yang kaya dengan kearifan lokal—untuk melihat bagaimana mereka membayangkan awal mula dunia.
Banyak peradaban memulai kisah penciptaannya dari sesuatu yang kosong, hampa, atau kacau. Yunani dan Mesir, dua pusat peradaban kuno terbesar di dunia, memberikan gambaran yang berbeda namun memiliki inti serupa: dunia lahir dari kehampaan.
Dalam mitologi Yunani, pada awal segalanya hanya ada Khaos—sebuah kehampaan yang tak berbentuk, jurang tak terbatas. Dari Khaos, lahirlah entitas primordial pertama:
Gaia (Bumi), sang ibu dari segala kehidupan.
Ouranos (Langit), yang kemudian menjadi pasangannya.
Nyx (Malam) dan Erebus (Kegelapan), yang melambangkan misteri kosmos.
Gaia dan Ouranos melahirkan para Titan, termasuk Kronos, yang pada akhirnya menggulingkan ayahnya. Namun Kronos pun digulingkan oleh anak-anaknya, yaitu para dewa Olympian dengan Zeus sebagai pemimpin.
Kisah penciptaan Yunani tidak berhenti di situ. Ada Titanomachy (perang para Titan melawan Olympian) dan Gigantomachy (perang para raksasa melawan para dewa). Semua ini menunjukkan bagaimana tatanan dunia lahir dari konflik. Kekacauan awal berubah menjadi struktur kosmik yang kita kenal sekarang, diatur oleh Zeus dan para dewa di puncak Olympus.
Mesir Kuno memiliki versi yang berbeda. Segalanya dimulai dari Nun, samudra primordial tak berujung yang gelap dan sunyi. Dari Nun, muncullah ben-ben, bukit purba yang menjadi simbol tanah pertama.
Di atas bukit itu, hadir Ra (atau Atum), dewa matahari yang kemudian menciptakan dunia. Ra melahirkan Shu (udara) dan Tefnut (kelembaban). Dari keduanya lahir Geb (bumi) dan Nut (langit). Hubungan para dewa inilah yang membentuk struktur kosmos.
Yang menarik, bagi orang Mesir, penciptaan dunia tidak terjadi sekali saja. Ia terus berulang setiap hari. Saat matahari terbit, Ra menghadirkan Ma’at (tatanan, harmoni, dan keadilan), dan saat malam tiba, ia berjuang melawan kekacauan yang disebut Isfet. Dengan demikian, penciptaan bukan sekadar momen di masa lalu, tetapi siklus kosmik abadi yang memastikan kehidupan terus berjalan.
Jika Yunani dan Mesir menggambarkan dunia lahir dari kehampaan atau air primordial, bangsa Nordik memiliki versi yang jauh lebih kelam.
Di awal segalanya ada Ginnungagap, jurang besar nan kosong. Di sisi selatan jurang ada Muspelheimr (dunia api), sementara di sisi utara ada Niflheimr (dunia es). Ketika api dan es bertemu di tengah jurang, lahirlah makhluk pertama: Ymir, raksasa es yang kolosal.
Namun kehidupan tidak berhenti pada Ymir. Dari keringat tubuhnya lahir para raksasa lain. Pada saat yang sama, dari es juga muncul seekor sapi kosmik bernama Audhumla, yang susu dan lidahnya memberi makan Ymir sekaligus melahirkan nenek moyang para dewa.
Akhirnya, para dewa—terutama Odin bersama saudara-saudaranya, Vili dan Vé—membunuh Ymir. Tubuh Ymir dijadikan bahan baku penciptaan:
Dagingnya menjadi daratan.
Darahnya menjadi lautan.
Tulang-belulangnya menjadi pegunungan.
Tengkoraknya menjadi kubah langit.
Rambutnya menjadi pepohonan.
Bahkan alisnya digunakan untuk menciptakan benteng Midgard, dunia tempat manusia tinggal.
Manusia pertama, Ask dan Embla, diciptakan dari dua batang kayu yang ditemukan di tepi pantai. Dari sinilah kehidupan manusia dimulai.
Berbeda dengan Mesir yang menekankan harmoni, mitologi Nordik menekankan bahwa tatanan lahir dari pengorbanan besar. Dunia yang kita huni adalah hasil darah, daging, dan tulang belulang makhluk primordial yang dikorbankan demi kehidupan.
Dalam mitologi Batak Toba, dunia pada awalnya adalah samudra tak berujung. Dari dunia atas, seorang putri bernama Siboru Deak Parujar turun ke bumi dan terjebak di dalam lautan tersebut. Ia tidak bisa kembali ke langit, sehingga memohon pertolongan.
Seekor naga memberikan tanah kepadanya. Tanah itu kemudian ia sebarkan hingga menjadi daratan yang bisa dihuni. Dari situlah kehidupan manusia bermula.
Kisah ini mengajarkan bahwa bumi adalah anugerah yang harus dijaga. Kehidupan manusia datang dari langit, tetapi hanya bisa bertahan dengan bantuan bumi dan laut. Dengan kata lain, harmoni antara unsur-unsur alam adalah kunci keberlangsungan hidup.
Selain Batak, banyak kisah serupa muncul di berbagai daerah:
Dayak percaya dunia diciptakan dari telur kosmik yang menetas.
Bali mengenal mitos penciptaan yang berkaitan erat dengan Dewa Wisnu, Siwa, dan Brahma, serta gunung suci sebagai pusat kosmos.
Bugis-Makassar memiliki kisah tentang Batara Guru, yang turun dari langit dan memulai kehidupan manusia.
Semua legenda ini menekankan satu hal: keseimbangan antara manusia, alam, dan dunia spiritual. Bumi tidak pernah dilihat sebagai milik manusia, melainkan ruang hidup bersama yang harus dijaga kesakralannya.
Jika kita membandingkan keempat tradisi ini, tampak bahwa mitologi penciptaan tidak hanya menjelaskan asal-usul kosmos, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai inti dari tiap budaya:
Yunani: dunia lahir dari konflik antar generasi. Tatanan lahir dari perebutan kekuasaan.
Mesir: penciptaan adalah siklus abadi yang menekankan harmoni dan keteraturan.
Nordik: dunia terbentuk dari pengorbanan besar, mengajarkan bahwa kehidupan tidak mungkin hadir tanpa kehilangan.
Nusantara: dunia adalah hadiah dari langit dan bumi, yang hanya bisa bertahan jika manusia hidup selaras dengan alam.
Melalui kisah-kisah ini, kita bisa melihat bagaimana manusia memaknai kosmos sesuai dengan tantangan hidup mereka. Yunani dengan politiknya, Mesir dengan siklus Sungai Nil, Nordik dengan kerasnya iklim, dan Nusantara dengan alam tropis yang penuh keanekaragaman.
Mitos penciptaan dunia adalah cermin budaya. Mereka bukan sekadar cerita kuno, melainkan ekspresi mendalam dari cara manusia memahami dirinya, lingkungannya, dan hubungannya dengan alam semesta.
Dari Yunani dan Mesir, kita belajar bahwa manusia selalu mencari tatanan di tengah kekacauan.
Dari Nordik, kita belajar bahwa kehidupan sering kali lahir dari pengorbanan.
Dari Nusantara, kita belajar bahwa harmoni dengan alam adalah fondasi kehidupan.
Di zaman modern, kita mungkin menjelaskan asal-usul alam semesta dengan teori ilmiah seperti Big Bang. Namun mitos-mitos kuno tetap relevan, bukan karena fakta ilmiahnya, tetapi karena pesan filosofis yang mereka bawa.
Mereka mengingatkan kita bahwa sejak dahulu kala, manusia selalu butuh cerita untuk memahami yang tak terjelaskan. Kisah-kisah penciptaan adalah warisan yang membuat kita sadar bahwa di balik semua perbedaan budaya, ada satu hal yang sama: kerinduan manusia untuk memahami dari mana kita berasal, dan ke mana kita akan kembali.
Selamat Hari Rabu dan Selamat Berjuang :)
~ Fitri ~
You May Also Like