Wednesday, May 28th, 2025 - Tim Encyclopedia Celia
"Mimpi tidak punya tanggal kedaluwarsa."
Di usia 20-an, kita hidup di masa yang disebut orang sebagai “masa emas.” Masa penuh potensi, kesempatan, dan kebebasan untuk mencoba berbagai hal. Tapi di balik semua narasi itu, kita juga hidup di masa paling membingungkan. Masa ketika kita dihadapkan pada keputusan-keputusan yang menentukan masa depan, meski sering kali kita bahkan belum mengenal diri kita sepenuhnya.
Satu dilema yang paling sering muncul adalah ini: apakah kita harus memilih untuk realistis atau tetap bertahan dengan mimpi? Kita bekerja demi hidup yang stabil, demi membayar tagihan dan memberi kabar baik pada keluarga. Tapi di sudut hati yang lain, masih ada mimpi—kadang samar, kadang menyala terang—yang belum juga kita wujudkan.
Artikel ini bukan sekadar curahan hati dari generasi yang sedang berusaha bertahan. Ini adalah ajakan untuk merefleksikan ulang hubungan kita dengan mimpi, dengan kenyataan, dan dengan diri sendiri.
Begitu lulus kuliah, hidup berubah drastis. Dulu, waktu masih jadi milik kita. Sekarang, waktu menjadi komoditas mahal. Kita langsung dihadapkan pada realita ekonomi: bayar kontrakan, bantu orang tua, cari penghasilan tetap. Realita hadir tanpa jeda. Ia tidak menunggu kita siap. Ia tidak peduli apakah kita sedang lelah, bingung, atau takut.
Mimpi yang dulu terasa dekat—menjadi penulis, musisi, pebisnis, pekerja sosial, atau bahkan sekadar memiliki hidup yang lebih tenang dan penuh makna—kini seperti kemewahan. Seperti barang mewah yang hanya bisa dimiliki oleh segelintir orang yang punya waktu lebih, uang lebih, atau jaringan yang lebih luas.
Tapi benarkah mimpi hanya untuk mereka yang punya privilege?
Jawaban jujurnya: ya dan tidak.
Ya, karena memang untuk mengejar mimpi dibutuhkan banyak hal yang tidak semua orang punya: waktu luang, ruang untuk bernapas, dukungan finansial, dan kesehatan mental. Tidak, karena selalu ada cara, sekecil apa pun, untuk tetap menjaga mimpi tetap hidup, meski dengan langkah yang lebih lambat.
Masalah utamanya bukan karena kita belum bisa mewujudkan mimpi, tapi karena kita mulai tidak percaya lagi pada mimpi itu sendiri. Kita mulai membungkam suara hati, menertawakan cita-cita masa kecil, dan merasa terlalu tua untuk memulai.
Padahal, mimpi tidak punya tanggal kedaluwarsa.
Kita tidak harus mengejar mimpi seperti maraton tanpa henti. Kita bisa membiarkannya tumbuh perlahan. Mimpi bisa hadir di sela-sela jam kerja, di malam minggu yang sunyi, di perjalanan pulang dari kantor, di tengah rasa lelah yang tidak sempat kita keluhkan.
Banyak orang yang hidup dalam ritme ganda: satu sebagai karyawan, satu lagi sebagai pemimpi. Ada penulis yang mengerjakan novel di sela jadwal padatnya sebagai guru. Ada barista yang menabung untuk membuka studio musik kecil. Ada admin media sosial yang belajar coding di malam hari.
Yang mereka lakukan bukan sekadar mengejar impian besar. Tapi menjaga agar mimpi itu tidak mati. Agar identitas diri tetap utuh. Karena mimpi bukan hanya tentang hasil akhir, tapi tentang proses menemukan makna dalam hidup sehari-hari.
Terlalu sering kita mendefinisikan kesuksesan secara sempit: punya rumah besar, penghasilan tinggi, karier cemerlang, dikenal banyak orang. Padahal, sukses bisa berarti banyak hal: bisa tidur nyenyak tanpa kecemasan, bisa tersenyum saat melihat karya sendiri, atau bisa mencintai diri sendiri meski belum mencapai semua target.
Kita perlu belajar memperluas makna kesuksesan.
Jika impianmu adalah menjadi fotografer, kamu tidak harus langsung resign dan jadi freelancer penuh waktu. Kamu bisa mulai dari proyek kecil-kecilan, dari pameran komunitas, dari unggahan Instagram yang konsisten. Jika kamu ingin jadi penulis, kamu tidak harus menunggu tawaran penerbit besar. Kamu bisa mulai dari blog pribadi, dari cerpen di Wattpad, dari kumpulan puisi yang kamu bagikan pada teman-temanmu.
Dengan memperluas makna kesuksesan, kita tidak menurunkan standar. Kita sedang menyesuaikan strategi. Kita sedang memilih jalan yang lebih sesuai dengan kondisi kita hari ini.
Dunia sering kali menyodorkan kita pilihan yang ekstrem: jadi realistis atau idealis, bertahan atau mengejar, bekerja atau bermimpi. Padahal hidup tidak sesederhana itu. Hidup adalah ruang abu-abu, dan kita bebas memilih bagaimana kita ingin menavigasinya.
Kamu bisa memilih bekerja untuk bertahan hidup sambil mencuri waktu untuk menulis puisi. Kamu bisa menjadi akuntan di siang hari dan ilustrator di malam hari. Kamu bisa mengejar dua hal sekaligus—karier dan mimpi—meski jalannya tidak cepat dan tidak mudah.
Yang perlu diingat adalah: kamu tidak harus menjadi sempurna dalam dua dunia itu. Tapi kamu berhak untuk tidak kehilangan keduanya.
Jika kamu bekerja di bidang yang tidak kamu cintai, bukan berarti kamu gagal. Tapi jika kamu berhenti sepenuhnya memberi ruang untuk tumbuh sesuai nilai pribadi, maka kamu sedang kehilangan bagian penting dari dirimu.
Banyak dari kita merasa belum siap memulai: belum cukup waktu, belum punya modal, belum punya keahlian. Tapi siap itu sering kali hanya ilusi. Kita tidak akan pernah merasa benar-benar siap. Yang bisa kita lakukan adalah mulai dari apa yang ada.
Mulai dari satu jam setiap minggu. Satu halaman tulisan. Satu ilustrasi. Satu ide di notes. Satu email ke komunitas yang kamu minati. Satu langkah, sekecil apa pun, lebih baik daripada diam dalam keraguan.
Ingat, kamu tidak harus langsung sukses. Kamu hanya perlu terus bergerak.
Salah satu alasan terbesar kenapa kita menunda mimpi adalah ketakutan: takut gagal, takut dinilai orang lain, takut kehilangan waktu dan tenaga untuk sesuatu yang tidak membuahkan hasil. Tapi semua orang sukses pun pernah takut.
Bedanya, mereka tidak membiarkan rasa takut itu jadi penentu langkah mereka.
Rasa takut adalah bagian dari proses. Kamu tidak harus menyingkirkannya sepenuhnya. Kamu hanya perlu belajar berjalan bersama rasa takut itu. Kamu bisa tetap melangkah, meski dengan tangan gemetar.
Setiap upaya kecilmu—menulis satu paragraf, ikut satu kelas online, bertanya pada satu orang mentor—adalah bentuk keberanian. Dan keberanian itu layak dihargai.
Di era media sosial, mimpi sering kali terasa seperti lomba. Siapa yang lebih dulu sukses. Siapa yang paling banyak audiens. Siapa yang paling viral. Padahal, mimpi itu personal. Tidak bisa dibandingkan.
Kamu tidak harus membuktikan apa pun pada siapa pun. Kamu hanya perlu jujur pada diri sendiri: apa yang membuatmu merasa hidup? Apa yang membuatmu ingin terus bertumbuh? Apa yang membuatmu merasa berarti?
Itu saja cukup.
Orang sering berkata, “Aku nggak punya waktu.” Tapi kadang bukan waktu yang kurang, melainkan niat dan arah yang belum jelas. Keseimbangan antara realita dan mimpi bukan soal membagi jam 50:50, tapi soal menyelipkan energi untuk diri sendiri di sela-sela rutinitas.
Mungkin kamu tidak bisa berkarya setiap hari. Tapi kamu bisa menuliskan satu kalimat reflektif sebelum tidur. Mungkin kamu tidak sempat ikut workshop setiap minggu, tapi kamu bisa menyimpan ide di catatan dan membukanya saat akhir pekan.
Niat kecil yang dijaga setiap hari akan membentuk kebiasaan besar di masa depan.
Jika hari ini kamu sedang bekerja keras demi bertahan hidup, itu sah dan sangat terhormat. Tidak semua orang punya pilihan untuk hidup ideal. Tapi jangan sampai perjuangan untuk bertahan membuatmu lupa berkembang.
Kita tidak hidup hanya untuk bertahan. Kita hidup juga untuk menemukan makna. Untuk merayakan hal-hal kecil. Untuk menyalakan cahaya dalam diri sendiri.
Mimpi tidak harus besar. Tidak harus mendunia. Tapi harus cukup penting untuk membuatmu ingin terus menjadi versi terbaik dari dirimu sendiri.
Dan selama kamu masih memberi ruang untuk mimpi itu—sekecil apa pun bentuknya—maka kamu masih berjuang. Kamu masih tumbuh. Kamu masih hidup.
Jadi, meski realita terus menyuruhmu bertahan, jangan lupa berbisik pada dirimu sendiri: Mimpiku belum mati. Aku hanya sedang berjalan lebih pelan. Tapi aku tetap berjalan.
Selamat Hari Rabu dan Selamat Beristirahat
~ Tanpa Lilin ~
You May Also Like