Monday, April 28th, 2025 - Tim Encyclopedia Celia
— Tentang tekanan, penerimaan, dan tumbuh dengan perlahan
Ketika kecil, kita membayangkan dunia dewasa sebagai sesuatu yang penuh kebebasan: bisa tidur larut sesuka hati, membeli barang tanpa izin orang tua, dan membuat keputusan sendiri tanpa campur tangan siapa pun. Namun seiring waktu, kita sadar bahwa menjadi dewasa tak semudah dan semanis itu. Justru, sering kali masa dewasa datang bersama beban yang tak pernah kita pelajari di sekolah, dan pelajaran-pelajaran yang tak terduga yang membentuk kita.
Ini adalah tentang menerima bahwa perjalanan menuju kedewasaan itu kompleks, penuh tantangan, tapi juga kaya akan makna dan kesempatan untuk mengenal diri sendiri lebih dalam.
Bagi banyak orang, dewasa identik dengan tekanan yang tak terlihat. Tekanan untuk berhasil di karier. Tekanan untuk terlihat baik-baik saja dan bahagia di media sosial. Tekanan untuk tetap tersenyum meskipun hati sedang lelah, bahkan hampa. Kita sering merasa harus "punya ini itu" di usia tertentu, sesuai standar umum masyarakat: pekerjaan mapan, pasangan ideal, rumah sendiri, atau tabungan melimpah.
Realita ini kadang bikin kita bertanya-tanya, "Apakah aku satu-satunya yang merasa begini?" Atau, "Kenapa hidup orang lain terlihat gampang banget, ya?" Padahal, kamu enggak sendirian. Perasaan bingung, kesepian, tertinggal, atau bahkan burnout adalah bagian umum dari proses menjadi dewasa. Hanya saja, tidak semua orang membicarakannya secara terbuka karena takut dinilai lemah atau gagal.
Jenis-jenis ekspektasi dan tekanan yang sering kita hadapi:
Ekspektasi Karier: Harus sukses cepat, punya jabatan tinggi, atau gaji fantastis. Jika tidak, ada rasa gagal.
Ekspektasi Hubungan: Tekanan untuk segera menikah, punya anak, atau punya lingkaran pertemanan yang besar dan solid.
Ekspektasi Finansial: Merasa harus punya aset, investasi, atau hidup tanpa khawatir uang.
Ekspektasi Diri Sendiri: Seringkali kita adalah penuntut terberat bagi diri kita sendiri, membebani diri dengan standar yang tidak realistis.
Rasa sakit dalam proses menjadi dewasa itu bukan tanpa alasan. Karena saat kita dewasa, kita secara perlahan kehilangan banyak "perlindungan" yang dulu kita miliki. Dulu ada orang tua atau guru yang bisa jadi tempat bertanya dan menyelesaikan masalah. Sekarang, kita harus memutuskan sendiri mana jalan yang benar, mana yang terbaik untuk diri sendiri, dan menghadapi konsekuensinya.
Rasa kehilangan ini bisa muncul dalam berbagai bentuk:
Kehilangan arah: Bingung mau ke mana setelah lulus atau setelah beberapa tahun bekerja.
Hubungan yang renggang: Perpisahan dengan teman-teman lama karena kesibukan atau perbedaan jalan hidup.
Kecemasan soal masa depan: Khawatir tentang karier, keuangan, atau apakah kita bisa hidup mandiri.
Perasaan terasing dari orang-orang sekitar: Merasa sendirian di tengah keramaian, karena orang lain terlihat lebih "beres" hidupnya.
Kesadaran akan ketidaksempurnaan: Mulai menerima bahwa orang tua, sahabat, atau bahkan diri sendiri tidak sempurna.
Namun, semua ini bukanlah tanda bahwa kita gagal—justru ini pertanda bahwa kita sedang berproses, sedang tumbuh. Ibarat kepompong menjadi kupu-kupu, proses perubahan itu butuh perjuangan.
Rasa sakit dan ketidaknyamanan adalah bagian tak terpisahkan dari pertumbuhan. Ini adalah hukum alam yang universal. Coba bayangkan:
Pohon tumbuh dengan akar yang harus menembus tanah keras untuk mencari air dan nutrisi, menghadapi batuan dan hambatan di bawah tanah. Tanpa akar yang kuat, ia tidak bisa berdiri kokoh.
Bunga mekar dengan kelopak yang harus meregang dari kuncupnya yang sempit, melewati "rasa sakit" untuk bisa membuka diri sepenuhnya di bawah sinar matahari.
Ulat harus berjuang keluar dari kepompongnya untuk bisa terbang menjadi kupu-kupu. Jika kita membantunya keluar, ia tidak akan memiliki kekuatan sayap yang cukup untuk bertahan hidup.
Proses bertumbuh memang tidak nyaman—karena itu artinya kita sedang melewati batas lama, meninggalkan zona nyaman, menuju versi baru diri kita yang lebih kuat, lebih bijaksana, dan lebih tangguh. Daripada terus melawan kenyataan bahwa hidup tidak seindah imajinasi masa kecil, kita bisa belajar menerima dan beradaptasi dengan realita. Penerimaan bukan berarti menyerah, tetapi menerima bahwa tidak semua hal harus sempurna agar bisa tetap berarti dan membawa kebahagiaan.
Meskipun tidak mudah, ada beberapa hal konkret yang bisa kita lakukan untuk tetap waras dan sehat secara emosional di tengah kerasnya tuntutan dewasa:
Menulis (Journaling): Membebaskan Pikiran Menuliskan pikiran dan perasaan setiap hari bisa membantu mengurai emosi yang kusut dan memetakan masalah. Tidak harus puitis atau indah—cukup jujur dan apa adanya. Terkadang, menulis adalah cara paling efektif untuk "mendengar" diri sendiri dan memahami apa yang sebenarnya sedang kita rasakan. Ini juga membantu mengurangi overthinking.
Bangun Sistem Dukungan yang Sehat: Tidak Sendirian Lingkungan yang suportif sangat penting. Carilah teman yang bisa diajak bicara tanpa dihakimi, komunitas dengan minat yang sama yang bisa memberimu rasa memiliki, atau keluarga yang menerima kita apa adanya. Ini adalah kekuatan yang sering terlupakan. Jika kamu merasa tidak punya support system, mulailah dari satu orang yang bisa dipercaya. Tidak perlu banyak—satu saja bisa menjadi titik tumpu saat dunia terasa berat.
Istirahat dari Media Sosial: Mengurangi Perbandingan Terlalu sering membanding-bandingkan diri dengan hidup orang lain di media sosial bisa memperburuk rasa tidak cukup baik dan memicu kecemasan. Ingat, media sosial hanya menampilkan potongan terbaik dari hidup orang lain, bukan realitas utuh mereka yang penuh perjuangan. Luangkan waktu untuk rehat dari layar dan kembali pada realita: diri sendiri, orang-orang terdekat, dan lingkungan fisikmu.
Bicara dengan Profesional: Mencari Perspektif Baru Tidak ada yang salah dengan meminta bantuan. Konsultasi dengan psikolog atau konselor bisa memberimu perspektif baru tentang masalahmu dan strategi sehat dalam menghadapi tekanan. Ini bukan tanda lemah, melainkan tanda kamu peduli dengan kesehatan mentalmu sendiri dan berani mengambil langkah proaktif.
Praktik Mindfulness dan Kehadiran Diri: Fokus pada Saat Ini Melatih kehadiran diri (mindfulness) membantu kita fokus pada saat ini, bukan terus mengkhawatirkan masa depan yang belum terjadi atau menyesali masa lalu yang sudah lewat. Mulai dari hal sederhana seperti menikmati napas, mengamati langit saat sunset, atau mensyukuri satu hal kecil setiap hari. Ini membantu mengurangi kecemasan dan meningkatkan ketenangan batin.
Tetapkan Batasan Sehat: Belajar mengatakan "tidak" pada hal-hal yang membebani, baik itu pekerjaan, permintaan sosial, atau komitmen lain. Menetapkan batasan adalah bentuk self-care yang vital untuk menjaga energimu agar tidak cepat habis.
Kita tidak harus selalu cepat. Tidak harus selalu seperti orang lain. Menjadi dewasa bukanlah perlombaan siapa yang lebih dulu punya rumah, pasangan, pekerjaan impian, atau tabungan sekian miliar. Perjalanan setiap orang berbeda, dengan kecepatan dan rintangan yang unik.
Menjadi dewasa adalah perjalanan untuk mengenal diri sendiri lebih dalam—mengenali kekuatan dan kelemahanmu, menerima ketidaksempurnaan, dan memahami bahwa kadang hidup tidak berjalan seperti rencana, tapi tetap bisa berarti. Semakin kita menerima bahwa tidak semua orang punya waktu tumbuh yang sama, semakin ringan juga langkah kita dalam menjalani kehidupan.
Kalau kamu merasa tersesat, itu bukan karena kamu lemah—itu karena kamu sedang berjalan di jalan yang baru dan belum terjamah. Kalau kamu merasa hampa, itu bukan karena kamu gagal—itu karena kamu sedang memberi ruang untuk sesuatu yang baru dan lebih bermakna. Menjadi dewasa memang tidak seperti yang kita harapkan saat kecil. Tapi di balik semua rasa lelah, ada kemungkinan tak terbatas untuk tumbuh jadi pribadi yang lebih kuat, bijak, dan penuh kasih.
Berikan waktu pada dirimu. Tidak semua orang berjalan di jalan yang sama, tapi semua orang sedang menuju bentuk terbaik dari dirinya sendiri. Termasuk kamu.
Selamat Hari Senin dan Selamat berbahagia :)
~ Tanpa Lilin ~
You May Also Like