Wednesday, May 21th, 2025 - Tim Encyclopedia Celia
"Kerja keras memang penting, tapi tidak seharusnya mengorbankan ketenangan batin."
Kita semua tumbuh dengan bayangan ideal tentang dunia kerja. Sebuah ruang profesional yang terstruktur, penuh prestasi, dan jadi tempat aktualisasi diri. Tapi seiring berjalannya waktu, kita mulai melihat sisi gelap dari dunia ini—mulai dari tekanan yang tak manusiawi, relasi penuh persaingan, sampai perilaku manipulatif yang dibungkus rapi dalam kata “profesional.”
Fenomena ini dikenal sebagai toxic di ruang profesional. Sebuah kondisi yang mungkin tidak meninggalkan bekas fisik, tetapi menyisakan luka batin yang dalam. Dan yang paling rumit? Ia begitu normal terlihat dari luar—hingga kita kadang mempertanyakan kewarasan diri sendiri karena merasa tidak nyaman di tempat yang disebut “kerja impian.”
Toxic tidak selalu berarti kekerasan verbal yang eksplisit atau perlakuan kasar. Toxic bisa hadir dalam bentuk yang lebih halus: beban kerja tidak manusiawi, tekanan target yang tidak realistis, tidak adanya ruang untuk berpendapat, hingga budaya “jam kerja lebih lama berarti lebih loyal.”
Bentuk-bentuk toxic di ruang profesional bisa meliputi:
Micromanagement yang mengekang: Atasan yang mengatur setiap gerakan, membuat kamu merasa tidak dipercaya.
Minimnya apresiasi: Kamu bekerja ekstra, tapi hasilnya tidak pernah dianggap cukup baik.
Atmosfer pasif-agresif: Komunikasi tidak langsung, sindiran, dan gosip menjadi budaya.
Ekspektasi tak masuk akal: Disuruh lembur tanpa alasan jelas, diminta online di luar jam kerja, atau diminta “berkorban” demi tim tanpa penghargaan.
Kurangnya empati dan kepedulian emosional: HR atau atasan tidak menanggapi keluhan burnout dengan serius, bahkan meremehkannya.
Budaya seperti ini sering dibungkus kalimat normatif: "Ya namanya juga dunia kerja, harus kuat dong." Padahal tidak semua orang memiliki “daya tahan” yang sama. Dan bukan tugas kita untuk bertahan dalam ketidakadilan hanya agar disebut profesional.
Banyak orang baru menyadari mereka berada di lingkungan toxic setelah dampaknya sudah menghantam terlalu dalam. Berikut beberapa sinyal yang perlu kamu waspadai:
Kamu selalu merasa cemas saat Minggu malam: Ada rasa tercekik setiap kali Senin mendekat. Bukan karena malas, tapi karena mentalmu kelelahan.
Kamu tidak lagi merasa bangga dengan pekerjaanmu: Apa pun yang kamu hasilkan terasa kurang. Bahkan pencapaian tidak lagi memberi rasa puas.
Ada rasa takut untuk bicara jujur: Kamu lebih memilih diam daripada menyampaikan ide atau keluhan. Takut dianggap pembuat masalah.
Hubungan pribadimu mulai ikut terdampak: Kamu jadi mudah marah, menarik diri, atau kehilangan energi saat di luar pekerjaan.
Tubuh mulai memberi sinyal: Sakit kepala, susah tidur, sering lelah, atau bahkan gangguan pencernaan bisa jadi bentuk perlawanan tubuh terhadap stres berkepanjangan.
Lingkungan kerja yang toxic bisa berdampak jauh melampaui jam kantor. Ia merusak cara kita melihat diri sendiri dan orang lain. Beberapa dampak yang mungkin kamu alami:
Burnout kronis: kelelahan fisik dan emosional yang tidak bisa diatasi dengan libur sehari-dua hari saja.
Hilangnya kepercayaan diri: merasa tidak layak, tidak cukup baik, dan terus menyalahkan diri sendiri.
Overthinking ekstrem: kamu mulai mempertanyakan semua keputusanmu, takut salah sedikit saja.
Kehilangan arah hidup: pekerjaan yang dulu bermakna kini terasa kosong dan tidak berarti.
Yang lebih menyakitkan? Kamu merasa tidak berhak mengeluh karena orang lain tampak “lebih menderita” atau karena kamu masih punya penghasilan tetap. Padahal, luka emosional tidak bisa dibanding-bandingkan. Setiap rasa sakit tetap valid.
Kadang kita tidak bisa langsung pergi. Tanggung jawab finansial, kontrak kerja, atau minimnya opsi bisa membuat kita harus bertahan lebih lama. Namun itu bukan berarti kamu tidak bisa melakukan apapun.
Validasi Perasaanmu: Kamu tidak lebay. Kamu tidak terlalu sensitif. Kamu sedang terluka. Dan luka itu butuh diakui agar bisa sembuh.
Bangun Sistem Pendukung di Luar Kerja: Teman, pasangan, keluarga, atau komunitas healing bisa menjadi “ruang aman” yang menyelamatkan kesehatan mentalmu.
Tegaskan Batasan: Mulai belajar berkata “tidak” pada permintaan yang tidak masuk akal. Jika tidak bisa berkata langsung, ciptakan batas waktu pribadi: misalnya tidak mengecek WhatsApp kantor di atas jam 8 malam.
Cari Makna Kecil dalam Pekerjaan: Temukan bagian dari pekerjaan yang masih kamu nikmati—sekecil apa pun. Hal ini bisa membantu kamu tetap terhubung pada diri sendiri.
Rencanakan Jalan Keluar (Jika Perlu): Mulailah menyusun rencana cadangan: cari peluang baru, perbarui portofolio, atau bahkan pertimbangkan jalur karier lain. Bertahan bukan satu-satunya pilihan yang valid.
Lingkungan kerja yang sehat bukan utopia. Ia ada, meski tidak selalu mudah ditemukan. Tapi sebelum kamu bisa menemukannya, kamu perlu belajar untuk mengambil kembali dirimu sendiri.
Mulai dari menyadari bahwa kamu berhak merasa tenang. Bahwa pekerjaan bukan satu-satunya sumber makna hidup. Bahwa loyalitas seharusnya tidak dibayar dengan kesehatan mental.
"Kamu tidak diciptakan untuk terus membuktikan diri kepada sistem yang tidak peduli padamu."
Kamu bukan mesin. Kamu tidak harus menjadi kuat setiap saat. Dunia kerja memang penuh tantangan, tapi itu bukan alasan untuk terus hidup dalam ketidakadilan yang terselubung.
Ruang profesional yang sehat bukanlah kemewahan, tapi hak dasar. Jika kamu merasa luka, berhentilah sejenak. Dengarkan dirimu. Sembuhkan dirimu. Karena dunia ini tidak akan pernah cukup cepat untuk menunggu, tapi kamu bisa memutuskan kapan harus berhenti berlari demi dirimu sendiri.
Selamat Hari Rabu dan Semoga Kamu Selalu Bahagia :)
~ Tanpa Lilin ~
You May Also Like